Saya (sama sekali) Tidak Anti-Politik

by 10.15 0 komentar
Saya sengaja memposting tulisan ini setelah pemilu berlangsung agar tak dinilai provokasi. Pemilu sensitif, bung! Lebih sensitif daripada Pre-menstruasi syndrome. 

Sesuai dengan judul yang saya berikan pada posting kali ini, saya memang ingin menjelaskan beberapa alasan akhir-akhir ini saya menghindari pembicaraan tentang politik--yang belakangan ini pasti dikaitkan dengan Pilpres--

Tak dapat dipungkiri, tentu saja, Pilpres menjadi pembicaraan terhangat, bahkan cenderung menjadi pembicaraan "Panas" belakangan ini. Entah di sosial media atau di kalangan sekitar saya, baik keluarga maupun teman-teman saya. Sedari awal, saya telah merasakan betapa luar biasanya Pilpres kali ini, mungkin karena faktor calon pasangannya hanya dua ya..

Kedua kubu saling menghujat, sana sini, tak tahu mana yang benar. Awalnya saya biasa saja, toh saya masih berstatus swing voters saat itu. Saya tetap mengikuti berita dengan santai. Namun lama kelamaan kampanye hitam semakin menjadi. Jarang sekali saya membaca atau melihat tulisan yang berisi kebaikkan mereka, keadaan di perparah dengan keberpihakkan media-media. Saya semakin muak, tak ada media tempat dimana saya mendapat berita netral tanpa berpihak dan sampai pada akhirnya saya cenderung untuk tidak memilih. Karena memang saya benar-benar tak punya pilihan. Saya pesimistis sekaligus optimistis pada kedua calon.

Selain kampanye hitam yang kian menjadi, pun saya miris dengan keadaan sekarang. Sosial media dijadikan ajang untuk berkampanye hitam, lempar aib sana sini. Mereka yang katanya terpelajar, kekeuh menyebarkan berita buruk tentang calon yang tak didukungnya, bahkan tak jarang yang menjadikan calon yang tak didukungnya sebagai bahan lelucon, seperti meme. Padahal seharusnya mereka yang katanya terpelajar menahan diri untuk melakukan hal konyol seperti itu. Memimpin sebuah organisasi kecil saja susah, apalagi memimpin Indonesia yang begitu besar dengan keberagamannya. Harusnya mereka mengapresiasi beliau-beliau yang mau menjadikan dirinya "tameng" bagi kita. Memihak boleh lah, asal jangan menjelekkan pihak lawan. Saya benar-benar miris. Saya semakin berusaha menghindari percakapan tentang Pilpres, saya sempat sangat antipati. Bahkan sempat ingin unfriend beberapa teman di sosmed saya karena selalu memposting aib salah satu calon. Ada juga yang membuat status dengan kata-kata kasar. Katanya terpelajar?

Pada puncaknya saya meminta beberapa pendapat dari teman saya mengenai pemilu, saya pun mengatakan niat saya untuk golput. Mereka menentang keras. Ya, saya tahu, kita memang harus memilih pemimpin yang kejelekkannya paling sedikit. Tapi saat itu saya memang benar-benar tak punya pilihan. Mungkin mereka mengira saya apatis, tak berusaha mencari tahu tentang kedua calon. Tidak, jelas tidak. Saya justru selalu mencari berita tentang keduanya, bahasa jurnalistiknya, cover both side. Saya tak mau hanya ikut-ikutan, atau pake feeling dan semacamnya. Saya berusaha mempelajari visi misi kedua calon, mempelajari sejarah kedua calon, mempelajari proker keduanya pula. Karena jujur saja, semakin sedikit pilihan, semakin susah pula menentukan pilihan. Sampai saya menyimpulkan keduanya pantas, hanya saja, tentu saya harus memilih salah satu. Akhirnya saya mendapat pilihan, H-2 jam pemilu, itu pun setelah saya membaca lagi visi-misi kedua calon dan  sejarah keduanya.

Setelah pemilu, puncaknya, pertanyaan tentang "Kamu pilih siapa?" pun merajalela, tak hanya di sosmed, di kalangan sekitar saya, bahkan keluarga saya pun. Duh!
LUBER JURDIL, bukannya itu pelajaran saat kita sekolah dasar? Biarlah hanya kita dan Tuhan yang tahu siapa yang kita pilih. Bilik pemilu diciptakan untuk merahasiakan pilihan. Mungkin karena azas ini telah ditinggalkan, kampanye hitam dimana-mana. Semua orang menggembar-gemborkan siapa yang akan mereka pilih. Semakin digembar-gemborkan, semakin sengit pula pertarungan para pendukung masing-masing calon. Itulah alasan mengapa saya selalu mengalihkan pembicaraan jika sedang membicarakan pilpres. Saya bukan apatis, hanya menghindari opini-opini yang kurang enak didengar. Saya bukan tak peduli negara, saya hanya kurang nyaman jika pembicaraan pilpres dilakukan dilingkungan orang terdekat, Tak bisa di debat. Hehehe.
Karena yang saya tahu, jika dalam sebuah kelompok mereka ternyata satu pilihan, pembicaraan lama-kelamaan akan beralih dari membicarakan kelebihan jagoannya, menjadi membicarakan kekurangan lawannya, walaupun itu hanya sekilas atau "kode", dan jika dalam sebuah kelompok ternyata mereka berbeda pilihan, maka biasanya pembicaraan akan beralih, dari awalnya "Ya sudah yang penting siapapun Presidennya, Indonesia tetap satu", menjadi saling kode mengode kalau jagoannya lah yang paling baik. Ah.

Hal ini saya alami sendiri, tak hanya dalam lingkungan teman-teman saya, saudara bahkan keluarga saya pun seperti yang telah saya jabarkan diatas. Maka dari itu lah saya selalu terlihat menghindari pembicaraan tentang hal yang katanya politik. Pun saya pernah berkata pada ibu saya yang merekomendasikan salah satu calon kepada saya, "Ini masa tenang, lho, Mah, kampanye melulu nih Mamah,hehehe". Mungkin memang terlihat saklek ya, tapi saya memang tidak suka membicarakan hal yang memang seharusnya dirahasiakan. Mengerti lah saya sekarang mengapa para pendiri negara ini memberi azas LUBER JURDIL untuk pemilu. Karena jika itu ditinggalkan, tentu saja, kampanye hitam dimana-mana. Tak akan ada lagi pemilu yang sehat, dan jika sudah demikian, tinggal kita mengucapkan selamat tinggal pada keadilan. :))

Akhir kata, saya sama sekali tidak anti-politik. Saya hanya menghindari pembicaraan mengenai pilpres yang sedang sensitif. Lagipula politik itu luas, kok. Bukan hanya pilpres. :p

Sekelumit pembicaraan yang saya rindukan saat pemilu gubernur kemarin.
A : Mas, Pilih siapa?
B : Emm, siapa ya? Gak etis lah ya kalau disebutin. Kan rahasia.
A : Iya sih Mas. Biar liat hasil akhir aja ntar.
B : Iya, yang penting legowo siapa pun nanti, doakan biar jadi yang terbaik buat Jateng lah ya. Daripada disebutin taunya kalah. Haha.

Tulisan ini ditulis dari hati yang terdalam- Oriza.








Oriza utami

Love it. Live it

Freelance Writer

0 komentar:

Posting Komentar