Tapak Tilas

by 10.08 0 komentar
Banyak sekali yang ingin aku tulis hari ini. Ya, hari ini aku menapak tilasi perjalananku, perjalanan kami.
Aku melewati lapangan tepat di sebelah taman makam pahlawan, tempat kami dulu sering bertemu pandang.
 Kau dengan seragam merahmu, aku dengan seragam putihku.
Tempat ku dulu sering mencuri pandang saat guru sedang menjelaskan 20 menit adalah batasan waktu untuk berlari mengelilingi lapangan sebanyak tiga putaran.
Suasananya masih sama. Sunyi.
Rumput ilalang masih tumbuh subur di sudut-sudut lapangan.
Corat-coret di tiap sisi tembok juga masih sama, hanya ada sedikit tambahan disana-sini, mungkin perbuatan adik kelas.

Aku juga melewati tiap ruangan kelas yang ada.
Warnanya telah berbeda. Tapi kenangannya masih sama dan melekat kuat.
Papan tulis putihnya mulai kotor menghitam, coretan-coretan di sudut kursi dan meja yang kami buat saat masih sekolah masih ada, coretan labil, menuliskan nama seseorang yang disuka dimanapun kami mau, bendera merah putih kecil yang terletak di meja guru mulai terlihat kumal, entah karena tak pernah dicuci atau apalah, jejak-jejak semangat kami masih terasa, jejak pertama untuk menapaki impian kami.

Dan.. Ah! Iya, tak lupa aku juga menyambangi kantin-kantin di sekolah.
Ibu kantin yang selalu menawarkan jajanan desa, biting dan es kelapa muda, bapak tukang bakso yang selalu memanggil setiap siswi dengan sebutan "mba dewi", meja kantin panjang tepat di depan etalase makanan yang jadi tempat favorit kami, dan juga kantin disudut tangga itu, oh iya, hampir lupa, kantin di depan sekolah dan di lorong parkir. Ah.. sekolah kami memang sekolah untuk si tukang makan!

Satu per satu mozaik kenangan muncul tak terbendung dalam otakku.
Jelas terlihat, seperti sedang melihat langsung adegan-adegan bodoh kami dahulu, ya, tak dipungkiri, aku memang memiliki Photographic memory untuk masalah kenangan ini.
Termasuk kenangan tentang mereka dan tentangmu.. dan juga kenangan tentang sebuah kesalahan, satu-satunya kesalahan terbesar, ah.. andai ia tahu seberapa besar inginku untuk menyapa dirinya seperti dulu, andai ia tahu seberapa rindunya kami kepadanya.

Ah! aku benci pengandaian! Tapi untuk kali ini, aku tak bisa melakukan apapun selain berandai. Berandai ia mengerti apa yang kami rasakan. Ah!

Oriza utami

Love it. Live it

Freelance Writer

0 komentar:

Posting Komentar